Hakekat Pancasila
Pancasila merupakan hasil
berfikir secara kefilsafatan, suatu hasil pemikiran yang mendalam dari para
pendiri negara Indonesia, yang disyahkan sebagai dasar filsafat negara pada
tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian Pancasila merupakan konsensus filfasat
yang akan melandasi dan memberikan arah bagi sikap dan cara hidup bangsa Indonesia.
Beberapa pemikir mengatakan bahwa
Pancasila merupakan :
1.
Driyakarya dalam tulisannya Pancasila dan Religi
(1957) berpendapat bahwa Pancasila berisi dalil-dalil filsafat.
2. Soediman Kartohadiprodjo, dalam bukunya Beberapa
Pekiraan Sekitar Pancasila (1980) mengemukakan bahwa: Pancasila itu adalah
filsafat bangsa Indonesia. Kelima sila itu merupakan inti-inti, soko guru dari
pemikiran yang bulat.
3.
Notonagoro, dalam berbagai tulisannya
berpendapat bahwa kedudukan Pancasila dalam negara RI sebagai dasar negara
dalam pengertian filsafat. Sifat kefilsafatan dari dasar negara tersebut
terwujudkan dalam rumusan abstrak umum universal dari kelima sila Pancasila.
4.
Dardji Darmodihardjo, mengemukakan bahwa
Pancasila dapat dikatakan sebagai filfasat yang idealistis, theis, dan praktis.
Idealistik artinya dalam Pancasila berisi nilai-nilai atau fikiran
terdalam tentang kehidupan yang dipandang baik.
Theis, artinya dalam Pancasila berisi filsafat yang mengakui adanya
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Praktis, artinya dalam Pancasila bukan hanya berisi kebenaran teoritis,
tetapi dititikberatkan pada pelaksanaannya.
5.
Soerjanto Poespowardojo, mengemukakan bahwa
Pancasila sebagai orientasi kemanusiaan, bila dirumuskan negatif adalah :
a.
Pancasila bukan materialisme
Manusia menurut materialisme tidak berbeda
dengan objek-objek lainnya. Subjektivitas manusia itu tidak masuk akal.
Kepribadian manusia itu nonsens (tidak berguna), karena pada dasarnya yang
menentukan segala-galanya adalah benda atau materi. Masalah ini akan menjadi
sangat serius, jika manusia terjebak dalam scientisme, yaitu suatu bentuk
mengagungkan terhadap iptek. Para filsuf modern telah menunjukkan akibat fatal
dari paham ini. Erik Fromm mengatakan bahwa dalam masyarakat modern, manusia
telah teralienasi (terasing) dari diri sendiri dan lingkungannya. Manusia tidak
bebas, karena harus tunduk pada irama kehidupan teknologi. Teknologi diciptakan
untuk manusia, bukan sebaliknya manusia teknologi.
b.
Pancasila bukan pragmatisme
Pragmatisme merupakan paham yang
menitikberatkan atau meletakkan kriteria tindakan manusia pada pemanfaatan atau
kegunaan. Pandangan pragmatisme kalau ditarik lebih jauh akan bermuara pada
tindakan-tindakan yang inhuman. Baik dan buruk tidak ditentukan secara objektif
lagi. Pancasila jelas tidak menganut ideologi pragmatisme. Hal ini bukan
berarti Pancasila menolak tindakan-tindakan yang pragmatis dalam kehidupan
bernegara, tetapi yang ditolak adalah ideologinya. Ideologi pragmatisme.
Absolutisme artinya, ada upaya ke arah memutlakkan guna atau manfaat dalam
kehidupan manusia. Mereka meletakkan nilai guna atau manfaat sebagai nilai yang
tertinggi. Determinisme, artinya satu-satu faktor yang menentukan segala
kehidupan adalah guna atau manfaat. Pancasila mengakui manusia sebagai pribadi
yang bernilai pada dirinya sendiri (intrinsik) dan tidak boleh direduksikan ke
bawah kriteria manfaat atau kegunaan saja.
c.
Pancasila bukan spiritualisme
F.W Hegel merupakan filsuf pertama yang memperkenalkan paham
spiritualisme. Hegel mengatakan bahwa realita seluruhnya adalah perwujudan roh
(spirit). Paham ini ternyata dalam kenyataan telah dipakai untuk melegitimasi
tindakan otoriter dan tidak demokratis dari penguasa. Penguasa dapat saja
memberi pembenaran terhadap tindakan yang sewenang-wenang sebagai tindakan roh
yang sedang mewujudkan diri dalam realita atau kenyataan. Pancasila tentu saja
menolak paham spiritualisme, tetapi mengakui adanya hal-hal yang bersifat
rohani. Hal ini bermuara pada landasan ontologis Pancasila, yaitu manusia yang
bersifat monodualisme (Notonagoro), khususnya dari susunan kodratnya, sebagai
makhluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Spiritualisme pada akhirnya bermuara
pada tindakan-tindakan otoriter, mengekang kebebasan manusia. Hal ini berarti
sudah tidak manusiawi lagi.
Dasar Pemikiran Pancasila sebagai
Ideologi Terbuka
Pancasila bukan sekedar untuk
difahami dengan penalaran yang jernih, tetapi juga untuk dihayati dalam batin
serta diamalkan secara konsisten dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Masalah ini bukanlah sekedar
masalah teoretikal murni. Gagasan
konseptual yang di kembangkan
bukan hanya mempunyai nilai teoretikal, tetapi juga mempunyai implikasi yuridis
konstitusional, filsafat, ideologi serta politik. Pancasila juga akan mempunyai dampak besar
kepada manajemen pembangunan nasional, karena
negara Indonesia telah
mencanangkan bahwa pembangunan nasional itu merupakan pengamalan Pancasila.
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai Pancasila sebagai ideologi
terbuka, diantaranya
adalah:
Pertama, kenyataan bahwa dalam
proses pembangunan nasional, dinamika masyarakat berkembang dengan amat cepat.
Tidak selalu jawabannya bisa di
temukan secara ideologis dalam pemikiran-pemikiran ideologi sebelumnya. Contoh tendensi globalisasi ekonomi yang
merupakan ciri khas dari dunia pada akhir abad ke 20 dan diperkirakan akan
berlanjut dalam abad ke 21 mendatang. Dalam kecenderungan ini, peranan besar
tidak lagi dipegang oleh negara dan pemerintahan karena besar dan kompleksitasnya
relatif lamban untuk menangani
kecepatan tersebut. Peranan yang lebih besar dipegang justru oleh badan usaha
swasta. Gejala baru ini memerlukan kejelasan sikap secara ideologis.
Kedua, kenyataan bangkrutnya
ideologi tertutup seperti marxisme-leninisme/komunisme. Jika dengan ideologi
terbuka dinamis dengan perkembangan lingkungan sekitarnya, maka dengan istilah
ideologi tertutup memaksudkan
ideologi yang merasa sudah mempunyai seluruh jawaban terhadap kehidupjan ini, sehingga yang perlu
dilakukan adalah melaksanakannya bahkan secara dogmatik. Dewasa ini kubu
komunisme dihadapkan kepada pilihan yang amat berat, untuk menjadi suatu
ideologi terbuka atau tetap menjadi ideologi tertutup seperti selama ini Uni
Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev memilih langkah radikal menuju
ideologi terbuka.
Ketiga, pengalaman sejarah
politik NKRI sendiri di masa
lampau sewaktu pengaruh komunisme sangat besar, karena
pengaruh ideologi komunisme yang pada dasarnya bersifat tertutup, Pancasila
pernah merosot menjadi semacam dogma
yang kaku. Tidak lagi dibedakan antara aturan-aturan pokok yang memang harus
dihargai sebagai aksioma yang di
sepakati bersama, dengan
aturan-aturan pelaksanaannya yang seyogyanya bisa disesuaikan dengan
perkembangan. Dalam suasana kekakuan tersebut, Pancasila tidak lagi tampil
sebagai ideologi yang menjadi acuan bersama, tetapi sebagai senjata konseptual
untuk menyerang lawan-lawan politik. Kebijaksanan pemerintah menjadi bersifat absolut, dengan konsekuensi
perbedaan pendapat menjadi alasan untuk secara langsung dicap sebagai
anti-Pancasila. Hal itu jelas tidak benar, dan perlu dikoreksi secara mendasar.
Keempat, tekad untuk menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kualifikasi dalam hidup “bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
menunjukkan bahwa ada kawasan kehidupan yang bersifat otonom dan karena itu
tidak secara langsung mengacu kepada nilai Pancasila. Salah satu di antaranya
adalah nilai-nilai religi. Peranan Pancasila dalam religi adalah mengayomi,
melindungi dan mendukungnya dari luar. Agama serta kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa itu bahkan diharapkan menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi
pembangunan nasional yang merupakan pengamalan Pancasila itu.
Implikasi Penerimaan
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Masyarakat dewasa ini telah menerima pandangan bahwa Pancasila merupakan
ideologi terbuka. Proses penerimaan ini tidaklah mudah. Seperti juga halnya
dengan setiap gagasan baru, masyarakat mula-mula menanggapinya dengan
hati-hati. Rasa kekhawatiran
dalam keterbukaan itu berarti diterimanya seluruh nilai apapun, termasuk yang
bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila itu, tapi ternyata bukan demikian halnya maka
secara de facto masyarakat mulai mempergunakan
konsep Pancasila ini sebagai acuan, antara lain sebagai landasan konseptual
untuk kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi. Adalah jelas bahwa
deregulasi dan debirokratisasi bukanlah merupakan liberalisasi yang mengandung
konotasi dianutnya faham liberalisme. Deregulasi dan debirokratisasi adalah
penyesuaian nilai instrumental Pancasila dalam bidang ekonomi, sambil tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai dasarnya yang bersifat kekeluargaan.Kemiripan dalam beberapa aspek
tertentu, seperti juga akan ada perbedaan dalam hal-hal yang penting. Hal ini membawa kepada masalah berikutnya,
yaitu implikasi dari
penerimaan Pancasila sebagai ideolog terbuka yaitu perlu adanya:
a. Pendalaman Nilai-Nilai Dasar Pancasila
Pendalaman
terhadap nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri di angkat dari khazanah kebudayaan bangsa Indonesia di daerah-daerah berdasar pasal 18 UUD 1945; dan sebagian lagi berdasar
peluang yang dimungkinkan oleh pasal 32
UUD 1945 di ambil alih
dari khazanah kebudayaan dunia.
Masyarakat
belum sungguh-sungguh paham akan makna kultural sesungguhnya dari nilai-nilai
itu. Sebagai seorang doktor hukum adat masyarakat bisa yakin bahwa Soepomo tahu persis apa yang
dilakukannya dalam menyusun UUD 1945. Seyogyanya memiliki memiliki kedalaman pengetahuan serta kearifan yang
dimiliki Soepomo untuk bisa benar-benar memahami yang beliau maksud.
b. Pengembangan wawasan, doktrin, kebijakan,
strategi dan hukum nasional
Keharusan berikutnya setelah memperdalam dan menjernihkan pemahaman mengenai nilai-nilai dasar
Pancasila itu dan
mengembangkan nilai-nilai instrumentalnya, antara lain dalam bentuk wawasan,
doktrin, kebijakan, strategi dan hukum nasional. Sebabnya adalah karena
nilai-nilaidasar Pancasila itu secara sengaja dibatasi oleh para pendiri negara
kita pada “aturan-aturan pokok” belaka. Tanpa dijabarkan dalam
ketentuan-ketentuan pelaksanaannya, maka aturan-aturan pokok itu akan tetap
terbatas pada aturan pokok belaka. Penjabaran ini menyangkut dua kegiatan
lanjutan.
1. Pengembangan wawasan, doktrin, kebijakan dan
strategi
Kegiatan
lanjutan pertama adalah pengembangan wawasan, doktrin, kebijakan dan strategi,
yaitu kegiatan konseptual yang diperlukan agar “aturan-aturan pokok” yang
tercantum dalam UUD 1945 itu bisa dilaksanakan dalam praktek secara mantap.
Secara
teoretika, suatu “aturan pokok” yang sama bisa dijabarkan dalam berbagai
wawasan, doktrin, kebijaksanaan dan strategi, yang bisa saling bertentangan
dalam kenyataannya.Contoh,
bahwa pemikiran filosofi historis materialisme Karl Marx bisa dijabarkan baik
dalam wawasan sosialis yang moderat maupun wawasan komunis yang ekstrim.
Perbedaan antara kedua varian Marxisme ini bukanlah dalam nilai-nilai dasarnya;
tetapi dalam wawasan lanjutan, doktrin, kebijakan dan strategi pelaksanaannya.
Karenanya, bagi kehidupan nyata, jabaran lanjut ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran
filsafati yang melatarbelakanginya.
Oleh karena
itulah memandang perlunya pengembangan wawasan, doktrin, kebijakan serta
strategi ini kita berikan perhatian secara khusus.
Wawasan adalah
cara pandang yang lahir dari keseluruhan kepribadian manusia, terhadap lingkungan sekitarnya. Sifatnya adalah subjektif, dan
bisa di pandang sebagai suatu
rangkuman dan penerapan praktis dari pemikiran filsafati yang melatarbelakangi
wawasan tersebut. Perlu
adanya wawasan yang relatif lebih konkrit, karena rumusan filsafat bisa terasa
amat abstrak.
Doktrin adalah
suatu pedoman bertindak secara baku yang dipandang terbaik dalam menangani
suatu bidang pada suatu saat yang dirumuskan dalam menerapkan suatu teori
kepada kenyataan nyata, jika teori
dan atau kenyataan berubah, maka doktrin harus diubah pula. Doktrin memudahkan kita menangani
masalah-masalah yang sejenis, sehingga dengan demikian menghemat pikiran,
tenaga dan waktu.
Kebijakan adalah
serangkaian keputusan mendasar mengenai cara mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan berdasar filsafat, ideologi, wawasan serta doktrin.
Strategi pada
dasarnya adalah rencana induk untuk melaksanakan suatu kebijakan, dengan mempergunakan
sumberdaya yang ada. Strategi selanjutnya dijabarkan ke dalam program dan
proyek, yang baik cakupannya maupun kedalamannya lebih khusus.
2
Pengembangan sistem hukum nasional yang taat
asas
Seluruh
perangkat lunak, yaitu wawasan, doktrin, kebijakan dan strategi masih merupakan
produk intelektual. Kekuatannya terletak pada kukuhnya penalaran yang
melatarbelakanginya. Tetapi ada kelemahannya, yaitu bahwa seluruh
tesis-tesisnya bisa dibantah dengan penalaran yang lebih kuat. Jika hal itu
dibiarkan berkembang terus-menerus, kerugiannya adalah bahwa kita tidak akan
mempunyai pegangan. Betapapun pentingnya seluruh kebebasan itu, dalam
pelaksanaan diperlukan pegangan yang jelas. Kalaupun akan diubah, perlu
dilaksanakan secara teratur dan berencana agar tidak menimbulkan kegoncangan
dan kebingungan dalam masyarakat.
Dalam hal inilah
timbulnya kebutuhan akan hukum. Hukum yang baik akan memberikan landasan yang
kukuh dan pegangan yang pasti kepada seluruh pihak. Normanya dirumuskan dengan
jelas dan sanksinya juga ditegaskan dengan lugas, dan berlaku dengan tidak
pilih bulu terhadap setiap orang, seperti ditegaskan dalam pasal 27 ayat 1 UUD
1945.
Sudah barang
tentu dengan hukum yang tidak baik kita akan menghadapi masalah. Hukum kolonial
yang disusun dalam zaman penjajahan, yang bertujuan mengeksploitir tanah air
kita untuk kepentingan negara asing yang jauh; atau hukum nasional sendiri yang
disusun tanpa pola atau mengandung norma yang sudah ketinggalan zaman, akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus akan membuka celah serta
kesempatan untuk disalahgunakan yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara.
c. Mempersiapkan dan membangun kebiasaan
masyarakat untuk setia kepada nilai-nilai moral serta norma hukum
Setelah nilai dasar dan nilai instrumental di benahi secara mantap, suatu langkah lanjutan berikutnya yang harus di lakukan adalah mempersiapkan kebiasaan
masyarakat untuk setia kepada nilai-nilai moral serta normal hukum yang telah
disusun itu.
Hal itu tidak mungkin tumbuh dengan sendirinya. Salah
satu sebabnya adalah karena negara nasional yang sedang di bangun dewasa ini adalah negara yang
struktur dan prosedurnya modern, walaupun semangatnya tetap di sandarkan kepada faham kekeluargaan yang
di warisi dari para leluhur.
Perlu juga di ingat, bahwa
tidak seluruhnya yang berasal dari leluhur itu di lanjutkan begitu saja. Ada proses aktif memilih mana yang sesuai
dan mana yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang. Feodalisme atau fanatisme kedaerahan
yang sempit sudah seharusnya di
buang.
Banyak konsep yang telah di kembangkan mengenai hal ini, seperti
konsep disiplin nasional, tertib hukum, tertib sosial, stabilitas nasional,
ketahanan nasional, ataupun penegakan hukum.konsep-konsep ini akan berkembang
terus di masa datang.
Fakta yang
lain yaitu bahwa baik pembangunan hukum maupun membangun kebiasaan
masyarakat untuk patuh kepada nilai serta norma hukum itu akan memakan waktu.
Menurut para pakar, Inggeris memerlukan waktu selama 400 tahun untuk membangun
kesadaran hukum rakyatnya. Negara
ini tentu tidak dapat menunggu selama itu. Seyogyanya bangsa
indonesia dapat membangun hal itu dalam waktu yang lebih cepat secara
berencana, melalui proses pendidikan politik yang bersifat partisipatif ataupun
melalui program keluarga sadar hukum yang sudah mulai dilancarkan sekarang ini.
Menanamkan kesadaran hukum kepada warga masyarakat
bukan berarti menanamkan disiplin mati, tetapi menanamkan keikhlasan, bahkan
kegairahan, untuk secara rohaniah menerima nilai dan norma itu dalam sistem
nilai pribadinya, dengan kesadaran bahwa jika semua orang berbuat sama, hal itu
pada taraf terakhir juga akan memberi manfaat kepada dirinya sendiri.
Penanaman kesadaran hukum harus dilakukan secara
persuasif dan edukatif sejak usia yang paling dini, sehingga kepatuhan kepada
hukum akan merupakan suatu bagian dari watak serta kepribadian setiap orang.
Dalam hal ini sudah barang tentu keluarga dapat memberikan peranannya yang
besar. Dalam materi penataran P-4, sudah menyatakan bahwa keluarga memang
merupakan salah satu jalur dalam pemasyarakatan P-4 itu.
Peranan berikutnya bisa diemban oleh kepemimpinan
masyarakat, seperti kepemimpinan adat, kepemimpinan agama ataupun kaum
terpelajar. Bukanlah tanpa maksud bahwa GBHN 1988 menyatakan bahwa pengamalan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa antara lain kita harapkan merupakan sumber
inspirasi, motivasi serta spiritual bagi pembangunan nasional. Kaidah adat dan
agama bisa mendukung perwujudan Pancasila dalam masyarakat, apalagi jika di ingat bahwa substansi
nilai-nilai Pancasila itu sebagian berasal dari nilai adat dan agama itu,
khususnya sila pertama, ke dua, dan ke empat. Saya mengira bahwa dalam sila ke
tiga dan ke lima, kita juga menimba ilham dari khazanah kebudayaan dunia yang
universal sejak abad ke 18 dahulu. Nasionalisme tumbuh dalam abad ke 18 di
Amerika Serikat dan Eropa Barat, untuk kemudian berkembang dalam gerakan
kemerdekaan dunia Timur. Keadilan sosial adalah merupakan tema perjuangan kaum
terpelajar sejak awal abad ke 20.
Jika seluruhnya berhasil di wujudkan, baik di pusat maupun di daerah, pada suprastruktur
politik maupun pada infrastruktur politik, maka kita dapat berkata bahwa kita
sudah matang sebagai bangsa.
Pembatasan
Keterbukaan Ideologi
Dalam bulan-bulan pertama dicanangkannya
gagasan tentang ideologi terbuka ini banyak pertanyaan timbul dalam masyarakat
apakah ideologi terbuka ini berarti segala ideologi dan tafsiran bisa diterima
begitu saja dalam memahami dan menjabarkan nilai-nilai Pancasila. Hal itu
memang perlu dijernihkan.
Secara teoretikal, sesungguhnya
tidak mungkin bahwa segala ideologi dan tafsiran bisa diterima begitu saja
dalam memahami dan menjabarkan nilai-nilai Pancasila. Hal itu bukan berarti
suatu ideologi terbuka, tetapi malahan menunjukkan tidak ada ideologi sama
sekali. Ideologi terbuka yang difahami sedemikian sama saja artinya dengan
mengatakan Pancasila itu suatu ideologi.
Ideologi, yang berarti a system ideas, mensyaratkan adanya
sistematik serta konsistensi dalam gagasan-gagasannya. Hal itu dengan
sendirinya berarti bahwa unsur-unsurnya haruslah serasi, selaras dan seimbang
satu dengan lainnya, jika mempergunakan terminologi P-4 sekarang ini. Ideologi
serta gagasan yang tidak sesuai, apalagi yang bertentangan, sudah dengan
sendirinya akan ditolak, jika ideologi yang bersangkutan tetap akan memelihara
konsistensi dirinya.
Namun secara praktikal hal itu
perlu ditegaskan secara lugas, karena istilah “terbuka” memang bisa diartikan
macam-macam. Dengan mempergunakan penjelasan yang sudah saya sampaikan di depan
tadi, maka yang terbuka untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar adalah
pada tataran nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya.
Nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945, yang meliputi pandangan kita tentang kemerdekaan,
tentang cita-cita nasional, tentang ke Tuhanan YME, tentang dasar negara,
tentang sumber kedaulatan negara, dan tentang tujuan nasional, sudah di tempatkan sebagai aksioma yang
tidak akan kita pertanyakan lagi.
GBHN, Repelita, Undang-Undang dan peraturan
perundangan lainnya bukan saja boleh, tetapi juga perlu di tinjau secara berkala agar tetap aktual
dan sesuai dengan dinamika masyarakat Indonesia.
Dalam proses penyesuaian ini,
seluruh rakyat Indonesia terlibat, baik secara perseorangan berdasar pasal 28
UUD 1945, secara berdaerah menurut pasal 18 dan 32 UUD 1945, maupun secara
berorganisasi menurut Undang-Undang no. 3 dan 8 tahun 1985. Seluruh pemikiran
yang berguna untuk kemajuan bangsa bukan saja boleh diutarakan, tetapi juga
perlu ditampilkan. Memang itulah kondisi yang diperlukan untuk maju.batas-batas
keterbukaan itu. setidaknya ada 2
pembatasan yaitu:
1) Kepentingan Stabilitas Nasional
Sudah barang tentu, walaupun pada dasarnya semua
gagasan untuk menjabarkan nilai dasar itu bisa diajukan, namun jika sejak dari
awal sudah bisa diperkirakan gagasan itu akan menimbulkan keresahan yang
meluas, selayaknya dicarikan momen, bentuk, serta metoda yang tepat untuk
menyampaikannya.
2) Larangan terhadap ideologi
Marxisme-Leninisme/Komunisme
Korea Utara dan
Kuba masih merupakan penganut komunisme yang gigih. Keterbukaan ideologi
Pancasila pada tataran nilai instrumental tidak berarti bahwa kita juga membuka
diri kepada wawasan faham komunisme ini. Sebaliknya, malah mengharuskan kita
untuk waspada terhadap kerawanan kita, agar baik secara sadar maupun secara
tidak sadar jangan sampai mempergunakan wawasan doktrin, kebijakan dan strategi
yang bersifat marxis-leninis/komunistis itu. Salah satu ciri dari faham ini
adalah wawasannya tentang kontradiksi permanen, tentang tidak dapat
didamaikannya konflik yang ada sampai salah satu pihak yang bertentangan hancur
sama sekali. Salah satu cirinya yang lain yang harus diwaspadai adalah
penghalalan segala cara untuk mencapai tujuannya
Kesimpulan
Implikasi penerimaan Pancasila sebagai
ediologi terbuka memerlukan adanya pendalaman terhadap nilai-nilai dasar
Pancasila itu sendiri. Sebagian dari nilai-nilai itu di angkat dari khazanah kebudayaan bangsa indonesia sendiri di daerah-daerah
berdasar pasal 18 UUD 1945; dan sebagian lagi berdasar peluang yang
dimungkinkan oleh pasal 32 UUD 1945 di ambil alih dari khazanah kebudayaan dunia, serta menjernihkan pemahaman mengenai
nilai-nilai dasar Pancasila itu dan
mengembangkan nilai-nilai instrumentalnya, antara lain dalam bentuk wawasan,
doktrin, kebijakan, strategi dan hukum nasional dan mempersiapkan kebiasaan masyarakat untuk setia kepada
nilai-nilai moral serta normal hukum yang telah disusun itu
DAFTAR PUSTAKA
Moerdiono. dkk.
1992.Pancasila Sebagai Ideologi. Jakarta: Perum Percetakan RI
Rukiyati. dkk.
2008.Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
UNY Press
Lanur Alex. 1995.
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.
Yogyakarta: Kanisius
0 komentar:
Posting Komentar